Kata-kata bisa melukai dan tak dapat ditarik kembali. |
Namun, lebih dari itu, ucapan orangtua berdampak langsung pada perkembangan mental anak di kemudian hari dan hubungan Anda dengan anak. Seringkali saat frustasi dengan ulah anak, orangtua mengeluarkan perkataan yang "merusak".
"Kata-kata bisa melukai dan tidak dapat ditarik kembali. Jadi, berhati-hatilah," saran seorang terapis dan penulis "The Calm Parent: AM & PM" Debbie Pincus. Berikut lima hal yang kerap diucapkan orangtua yang bisa menimbulkan efek negatif terhadap anak, seperti dikutip dari Shine.
"Saya Tidak Peduli"
Anak-anak kecil suka dengan rincian: percakapan dengan teman bermain, menggambarkan apa yang mereka pikir atau temuan di sekeliling meskipun terdengar sangat aneh dalam pandangan orangtua.
Meski kadang orangtua terlalu sibuk atau tak peduli, berhati-hati agar tak mengucapkan, "Saya tak peduli!". Ini hanya akan memutuskan komunikasi dengan anak, dan anak akan merasa dia tidak begitu penting di mata orang tuanya.
"Banyak orangtua mengeluhkan komunikasi pada anak yang beranjak remaja. Sebenarnya proses komunikasi orangtua-anak harus berkembang secara positif selama bertahun-tahun sehingga agar tercipta kepercayaan tak tertulis saat komunikasi," ujarnya.
Untuk itu, saat berbicara dengan buah hati, fokuslah. Jangan menyambinya dengan hal lain. "Jangan sampai dalam sehari tak ada saling berbagi dengan anak."
"Bersikaplah Seperti Usiamu!"
Anak Anda berusia tujuh tahun, namun Anda menilai dia berkelakuan seperti anak usia balita. Dan, Anda mengatakannya. Pincus mengatakan, reaksi ini adalah orangtua yang tak memahami perilaku anak dan berusaha mengatasi frustasi.
"Kata-kata bisa melukai dan tidak dapat ditarik kembali. Jadi, berhati-hatilah," saran seorang terapis dan penulis "The Calm Parent: AM & PM" Debbie Pincus. Berikut lima hal yang kerap diucapkan orangtua yang bisa menimbulkan efek negatif terhadap anak, seperti dikutip dari Shine.
"Saya Tidak Peduli"
Anak-anak kecil suka dengan rincian: percakapan dengan teman bermain, menggambarkan apa yang mereka pikir atau temuan di sekeliling meskipun terdengar sangat aneh dalam pandangan orangtua.
Meski kadang orangtua terlalu sibuk atau tak peduli, berhati-hati agar tak mengucapkan, "Saya tak peduli!". Ini hanya akan memutuskan komunikasi dengan anak, dan anak akan merasa dia tidak begitu penting di mata orang tuanya.
"Banyak orangtua mengeluhkan komunikasi pada anak yang beranjak remaja. Sebenarnya proses komunikasi orangtua-anak harus berkembang secara positif selama bertahun-tahun sehingga agar tercipta kepercayaan tak tertulis saat komunikasi," ujarnya.
Untuk itu, saat berbicara dengan buah hati, fokuslah. Jangan menyambinya dengan hal lain. "Jangan sampai dalam sehari tak ada saling berbagi dengan anak."
"Bersikaplah Seperti Usiamu!"
Anak Anda berusia tujuh tahun, namun Anda menilai dia berkelakuan seperti anak usia balita. Dan, Anda mengatakannya. Pincus mengatakan, reaksi ini adalah orangtua yang tak memahami perilaku anak dan berusaha mengatasi frustasi.
"Anak berpikir telah melakukan hal sesuai usia mereka, namun tidak dimengerti orangtua," ujar Pincus. Hasilnya, ucapan ini hanya membuat anak merasa selalu dikritik saat mereka seharusnya mendapat bantuan untuk mengendalikan diri.
Pincus menyarankan, bila merasa kesal, ambil jeda beberapa saat dan berikan tanggapan efektif, bukannya reaksi spontan yang penuh adrenalin. Sehingga Anda bisa bereaksi dengan otak, bukan sisi emosional.
"Ayo, Minta Maaf!"
Anak prasekolah yang mengambil mainan dari temannya bisa membuat temannya menangis. Membujuknya minta maaf mungkin menurut Anda cara untuk menunjukkan budi. "Tapi memaksa seorang anak untuk meminta maaf tidak mengajarkan anak keterampilan sosial," kata Bill Corbett, seorang pendidik.
Anak tidak secara otomatis memahami mengapa mereka harus meminta maaf, dan jika orangtua memaksa bisa membuat mereka ogah melakukannya. Agar anak memahami arti maaf, jangan segan meminta maaf kepada buah hati bila melakukan kesalahan. Ini adalah model tepat agar anak mau mengaku salah dan meminta maaf. Dijamin, Anda akan melihat hasilnya.
"Apakah Kamu Sudah Mengerti?"
Anda telah mengajarkan sebuah keterampilan atau cara mengerjakan soal. Namun, saat menunjukkan tanda-tanda mereka belum mengerti, Anda buru-buru bertanya "Sudah mengerti?".
Menurut Jill Lauren, pakar anak, pertanyaan ini bersifat merendahkan. "Jika anak mengerti mereka akan melakukannya untuk menyenangkan orang tua."
Namun, ucapan Anda merupakan penghakiman yang membuat anak merasa tak berguna. Sebagai gantinya, lebih baik mengambil istirahat sebelum memulai lagi, atau cari pendekatan lain untuk mengajarinya.
"Ibu/Ayah akan Meninggalkanmu"
Jika anak menolak meninggalkan toko mainan atau taman, seringkali orangtua mengucap ultimatum tersebut. Bagi anak usia muda, ditinggalkan adalah sesuatu yang menakutkan. Tapi, bagaimana jika ancaman ini tak berarti bagi mereka?
"Masalah terbesar orangtua adalah ingin anak mereka memercayai mereka, padahal orangtua jelas-jelas berbohong," ujar pakar keluarga Deborah Gilboa.
Bila terjadi terus menerus, anak akan mengetahui bahwa orangtua hanya mengancam. "Anda harus berusaha untuk tak mengancam. Jika mengatakanya, Anda harus melakukannya."
Gilboa menyarankan, jangan pernah mengungkap bahwa Anda akan meninggalkan anak. Sebaliknya, lihat apakah yang menyebabkan perilaku mereka. Bila mereka tetap menolak, "Katakan pada anak bahwa perilaku itu tak dapat diterima dan orangtua harus memotivasi anak dengan konsekuensi yang dapat Anda lakukan."
Pincus menyarankan, bila merasa kesal, ambil jeda beberapa saat dan berikan tanggapan efektif, bukannya reaksi spontan yang penuh adrenalin. Sehingga Anda bisa bereaksi dengan otak, bukan sisi emosional.
"Ayo, Minta Maaf!"
Anak prasekolah yang mengambil mainan dari temannya bisa membuat temannya menangis. Membujuknya minta maaf mungkin menurut Anda cara untuk menunjukkan budi. "Tapi memaksa seorang anak untuk meminta maaf tidak mengajarkan anak keterampilan sosial," kata Bill Corbett, seorang pendidik.
Anak tidak secara otomatis memahami mengapa mereka harus meminta maaf, dan jika orangtua memaksa bisa membuat mereka ogah melakukannya. Agar anak memahami arti maaf, jangan segan meminta maaf kepada buah hati bila melakukan kesalahan. Ini adalah model tepat agar anak mau mengaku salah dan meminta maaf. Dijamin, Anda akan melihat hasilnya.
"Apakah Kamu Sudah Mengerti?"
Anda telah mengajarkan sebuah keterampilan atau cara mengerjakan soal. Namun, saat menunjukkan tanda-tanda mereka belum mengerti, Anda buru-buru bertanya "Sudah mengerti?".
Menurut Jill Lauren, pakar anak, pertanyaan ini bersifat merendahkan. "Jika anak mengerti mereka akan melakukannya untuk menyenangkan orang tua."
Namun, ucapan Anda merupakan penghakiman yang membuat anak merasa tak berguna. Sebagai gantinya, lebih baik mengambil istirahat sebelum memulai lagi, atau cari pendekatan lain untuk mengajarinya.
"Ibu/Ayah akan Meninggalkanmu"
Jika anak menolak meninggalkan toko mainan atau taman, seringkali orangtua mengucap ultimatum tersebut. Bagi anak usia muda, ditinggalkan adalah sesuatu yang menakutkan. Tapi, bagaimana jika ancaman ini tak berarti bagi mereka?
"Masalah terbesar orangtua adalah ingin anak mereka memercayai mereka, padahal orangtua jelas-jelas berbohong," ujar pakar keluarga Deborah Gilboa.
Bila terjadi terus menerus, anak akan mengetahui bahwa orangtua hanya mengancam. "Anda harus berusaha untuk tak mengancam. Jika mengatakanya, Anda harus melakukannya."
Gilboa menyarankan, jangan pernah mengungkap bahwa Anda akan meninggalkan anak. Sebaliknya, lihat apakah yang menyebabkan perilaku mereka. Bila mereka tetap menolak, "Katakan pada anak bahwa perilaku itu tak dapat diterima dan orangtua harus memotivasi anak dengan konsekuensi yang dapat Anda lakukan."
VIVAnews
Kalau suka, tolong klik "like/suka" di bawah ini: