Pelajaran Politik dari Piala Eropa

Kalau suka, share artikel ini:
Narayana 734Mengamati cara Spanyol mempertahankan juara Eropa, dan mungkin juga juara dunia pada 2014, kita sejenak melupakan sejarah dan asal usul sepak bola.

Semua terkesima menyaksikan bagaimana Xavi Hernandes, Andres Iniesta, David Silva, Jordi Alba, Ces Fabregas, Fernando Torres, Juan Mata, dan rekan-rekan memorak-porandakan tim nasional Italia di final Piala Eropa 2012.

Permainan tiki taka yang mereka tampilkan untuk menundukkan Italia begitu memukau. Skor 4-0 yang mereka cetak adalah sebuah rekor baru dalam sejarah pertandingan final baik di Piala Eropa maupun Piala Dunia.

Sejak Piala Eropa dihelat kali pertama pada 1960, rekor kemenangan terbesar terjadi pada final 1972. Ketika itu, Jerman Barat jadi juara dengan menundukkan Uni Soviet 3-0.

Spanyol juga memecah rekor tidak terkalahkan dalam 12 pertandingan di Euro. Kekalahan terakhir terjadi saat lawan Portugal pada Juni 2004. Sedangkan pelatih Spanyol, Vincente Del Bosque, juga merupakan satu-satunya pelatih yang mampu memenangi Liga Champions, Piala Dunia, Piala Eropa (dua kali) sepanjang kariernya.

Barangkali, tak seorang pun – bahkan para pendukung fanatik Italia -- merasa perlu bersedih dengan kemenangan tim negeri matador itu. Karena Spanyol memang layak jadi pemenang dan menjadi tim pertama di dunia yang mampu memenangi tiga turnamen besar secara berturut-turut.

Juga patut dicatat, Spanyol bukan negara asal sepak bola. Sejarah mencatat bangsa China bermain sepak bola –dengan nama tsu chu– sejak 5000 SM. Dua ribu tahun kemudian orang Jepang memainkan olahraga serupa bernama kemari.

Mesir Kuno dan Timur Tengah mengenal sepak bola sebagai bagian dari ritual keagamaan pada 2500 SM, dan pada abad pertama Masehi orang-orang Romawi mulai bermain sepak bola. Memang tidak banyak dokumen yang mendukung hipotesis tersebut. Namun bentuk sepak bola modern dipastikan berasal dari Inggris.

Tapi, apakah ada urgensinya mempermasalahkan dari mana sepak bola, sebagai salah satu bentuk kebudayaan, berasal? Kita tidak melihatnya. Inggris, yang belum sekali pun menikmati manisnya sebuah trofi Euro, tidak pernah dan tidak merasa perlu mengklaim sepak bola modern sebagai warisan leluhur bangsanya. Demikian pula China, Mesir, Jepang, dan Italia yang sudah lebih dulu mengenal sepak bola.

Spanyol, yang dalam beberapa tahun belakangan ini mendominasi pentas sepak bola dunia, baik sebagai tim nasional maupun liga, juga tidak berupaya mengklaim sepak bola sebagai miliknya. Begitu pula Brasil, sebagai tim tersukses dalam sejarah sepak bola modern, tidak sedikit pun tergoda untuk mendaftarkan si kulit bundar itu ke UNESCO.

Di setiap ajang kompetisi kita juga tidak pernah melihat ada suporter atau sekelompok orang yang mengacung-acung spanduk atau poster bertuliskan --misalnya -- “Sepak Bola Nu Aing!”

Pesta kebudayaan sepak bola seperti yang kita saksikan dini hari kemarin seolah mengajarkan kepada kita bahwa bagi bangsa berintegritas, tidak penting dari mana sebuah kebudayaan itu berasal. Tapi, yang penting adalah bagaimana kebudayaan tersebut bisa menghibur dan bermanfaat bagi bangsa manapun di dunia.

Dan dini hari kemarin kita semua terhibur. Mudah-mudahan kita juga bisa ambil makna dari pelajaran tersebut agar menjadi bangsa berintegritas dan tidak gampang kalap. ( INILAH.COM)
Kalau suka, tolong klik "like/suka" di bawah ini:
Kalau suka, share artikel ini: