Narayana 734 - Sejarah baru tertulis pada Minggu, 12 Februari, ketika Zambia mengalahkan Pantai Gading 8-7 melalui adu penalti di final Piala Afrika 2012.
Sejarah itu pun disambut gegap gempita. Anak-anak tak berbaju, pria dewasa dengan jersey bajakan, hingga wanita dengan pakaian tradisional chitenge, tumpah ruah di jalanan Lusaka berpesta dadakan merayakan keberhasilan Zambia menjuarai Piala Afrika untuk kali pertama. Pengendara mobil ramai-ramai membunyikan klakson, bendera berkibar dari setiap rumah, dan nyanyian fans membahana diimbuhi dengungan bising vuvuzela.
Lihatlah sukses Zambia itu dari mata seorang Kalusha Bwalya. Lahir pada 16 Agustus 1963 ketika negara itu masih bernama Rhodesia Utara, Kalusha meletakkan Zambia di peta sepakbola dunia ketika mencetak hat-trick ke gawang Italia pada Olimpiade Seoul 1988. Zambia menggilas Italia 4-0 dan bagi si anak ajaib, itu baru awal kebangkitan mereka.
"Zambia raksasa yang sedang tertidur," ujarnya, "kami negara kecil untuk ukuran sepakbola, tapi kami tim Afrika pertama yang mampu mengalahkan negara kuat Eropa dengan skor meyakinkan seperti itu."
Garis hidup berkata lain. Potensi terpendam Zambia seakan musnah begitu saja ketika pada 27 April 1993 sebuah kecelakaan pesawat di pantai Gabon menewaskan seluruh skuad, pemain dan pelatih, yang sedianya berangkat ke Senegal mengikuti kualifikasi Piala Dunia.
Kalusha, yang saat itu bermain untuk PSV Eindhoven, selamat dari musibah karena berangkat dari Belanda. Sang legenda bernomor punggung 11 ini kemudian memimpin skuad baru Zambia untuk menembus Piala Afrika 1994 meski kemudian ditundukkan Nigeria di final.
Setelah 19 tahun berlalu, garis hidup membawa Zambia kembali ke Gabon dengan misi menjawab potensi yang pernah mereka mulai lebih dari dua dasawarsa lalu. Tim berjulukChipolopolo ini melawan semua prediksi yang ada dan melaju hingga babak puncak di Libreville. Harapan berprestasi membubung tinggi meski Zambia menantang tim yang lebih difavoritkan, Pantai Gading.
Sebagai bentuk dukungan moril, Presiden Zambia Michael Sata menugaskan Wakil Presiden Guy Scott berangkat ke Libreville guna memberikan dukungan. Wapres Scott didampingi sejumlah delegasi, antara lain Kenneth Kaunda yang memimpin kemerdekaan Zambia dari Inggris pada 1964 dan menjadi presiden selama 27 tahun. Dua pesawat penuh dengan fansChipolopolo juga bertolak dari Lusaka ke Libreville, Minggu pagi kemarin.
Berangkat dengan status tim bukan unggulan di Piala Afrika tahun ini, Zambia memberikan kejutan besar. Padahal hanya dua pemain Zambia yang bermain di kompetisi Eropa, yaitu Emmanuel Mayuka di klub Swiss, Young Boys Bern; serta Chisamba Lungu di klub Rusia, Ural Oblast. Bandingkan dengan seluruh pemain Pantai Gading yang berkiprah di Eropa, kecuali Abdul Kader Keita yang kini berkiprah di liga Qatar bersama Al Sadd.
Nyatanya, dengan semangat yang tinggi Zambia mampu meladeni Pantai Gading. Tak mau tampil defensif, pelatih Herve Renard sengaja memasang tiga pemain cepat sekaligus, yaitu kapten Christopher Katongo, Rainford Kalaba, dan Chisamba Lungu. Di babak kedua, Renard memasukkan lagi Felix Katongo dan menggeser Lungu ke posisi bek kiri. Strategi ini efektif meredam sayap-sayap andalan Pantai Gading, seperti Salomon Kalou dan Gervinho, yang berhasil dipaksa turun jauh membantu pertahanan. Di tengah, duet Nathan Sinkala dan Isaac Chansa bergulat setiap kali memperebutkan bola sehingga menyulitkan trio Yaya Toure, Cheik Tiore, dan Didier Zokora.
"Gelar juara Zambia didedikasikan juga untuk sang legenda, Kalusha Bwalya."
|
Garis hidup berkata lain. Potensi terpendam Zambia seakan musnah begitu saja ketika pada 27 April 1993 sebuah kecelakaan pesawat di pantai Gabon menewaskan seluruh skuad, pemain dan pelatih, yang sedianya berangkat ke Senegal mengikuti kualifikasi Piala Dunia.
Kalusha, yang saat itu bermain untuk PSV Eindhoven, selamat dari musibah karena berangkat dari Belanda. Sang legenda bernomor punggung 11 ini kemudian memimpin skuad baru Zambia untuk menembus Piala Afrika 1994 meski kemudian ditundukkan Nigeria di final.
Setelah 19 tahun berlalu, garis hidup membawa Zambia kembali ke Gabon dengan misi menjawab potensi yang pernah mereka mulai lebih dari dua dasawarsa lalu. Tim berjulukChipolopolo ini melawan semua prediksi yang ada dan melaju hingga babak puncak di Libreville. Harapan berprestasi membubung tinggi meski Zambia menantang tim yang lebih difavoritkan, Pantai Gading.
Sebagai bentuk dukungan moril, Presiden Zambia Michael Sata menugaskan Wakil Presiden Guy Scott berangkat ke Libreville guna memberikan dukungan. Wapres Scott didampingi sejumlah delegasi, antara lain Kenneth Kaunda yang memimpin kemerdekaan Zambia dari Inggris pada 1964 dan menjadi presiden selama 27 tahun. Dua pesawat penuh dengan fansChipolopolo juga bertolak dari Lusaka ke Libreville, Minggu pagi kemarin.
Berangkat dengan status tim bukan unggulan di Piala Afrika tahun ini, Zambia memberikan kejutan besar. Padahal hanya dua pemain Zambia yang bermain di kompetisi Eropa, yaitu Emmanuel Mayuka di klub Swiss, Young Boys Bern; serta Chisamba Lungu di klub Rusia, Ural Oblast. Bandingkan dengan seluruh pemain Pantai Gading yang berkiprah di Eropa, kecuali Abdul Kader Keita yang kini berkiprah di liga Qatar bersama Al Sadd.
Nyatanya, dengan semangat yang tinggi Zambia mampu meladeni Pantai Gading. Tak mau tampil defensif, pelatih Herve Renard sengaja memasang tiga pemain cepat sekaligus, yaitu kapten Christopher Katongo, Rainford Kalaba, dan Chisamba Lungu. Di babak kedua, Renard memasukkan lagi Felix Katongo dan menggeser Lungu ke posisi bek kiri. Strategi ini efektif meredam sayap-sayap andalan Pantai Gading, seperti Salomon Kalou dan Gervinho, yang berhasil dipaksa turun jauh membantu pertahanan. Di tengah, duet Nathan Sinkala dan Isaac Chansa bergulat setiap kali memperebutkan bola sehingga menyulitkan trio Yaya Toure, Cheik Tiore, dan Didier Zokora.
Kegigihan Christopher Katongo merepotkan Pantai Gading |
Jangan lupakan pula peran kiper Kennedy Mweene yang jatuh bangun mengantisipasi setiap bola yang datang ke gawangnya. Tak mau kalah semangat seperti rekan-rekan setimnya, Mweene beberapa kali menggunakan tubuh sendiri sebagai tameng dari setiap ancaman lawan.
Titik balik pertandingan muncul pada menit ke-70. Davies Nkausu menjatuhkan Gervinho di area terlarang sehingga menyebabkan hukuman penalti. Didier Drogba seharusnya mampu memanfaatkan peluang emas memenangkan pertandingan untuk Pantai Gading, tetapi tendangannya malah melambung ke atas mistar.
Sisanya, sejarah. Kepercayaan diri Zambia menebal. Setelah ditambah 30 menit perpanjangan waktu, final harus ditentukan melalui adu penalti. Drama kembali terjadi ketika dibutuhkan 18 eksekutor untuk menghasilkan pemenang. Salah satu eksekutor adalah Mweene yang dengan dingin menaklukkan Boubacar Barry pada giliran penalti kelima. Sungguh menakjubkan ketika usai eksekusi itu Barry menjabat tangan Mweene sebagai tanda sportivitas. Setelah tujuh pemain melaksanakan eksekusi dengan sempurna, Zambia mendapat angin ketika Mweene mematahkan eksekusi Kolo Toure. Cerita belum berhenti karena eksekusi Rainford Kalaba gagal. Pada giliran berikutnya, Gervinho gagal menjalankan tugas. Akhirnya kesempatan ini tidak disia-siakan Stoppila Sunzu untuk memberikan gelar juara kepada Zambia.
Gelar juara memberikan jawaban nestapa Zambia setelah tragedi 1993, tetapi tidak diraih dengan mudah. Sukses mulai dibangun ketika Renard kembali ditunjuk Bwalya, yang kini menjadi federasi sepakbola, untuk menangani Chipolopolo pada Oktober 2011. Renard bukan muka baru bagi Bwalya karena sebelumnya eks asisten Claude Le Roy di timnas Ghana itu pernah menangani Zambia pada Mei 2008. Meski sukses membawa Zambia ke perempat-final Piala Afrika 2010 untuk kali pertama dalam 14 tahun, Renard mengundurkan diri dari jabatannya.
Di tahap persiapan menuju Piala Afrika tahun ini yang digelar di Gabon dan Guinea Khatulistiwa, Renard mengaku beruntung tidak banyak pemainnya yang berkiprah di Eropa sehingga tim sudah bisa "dihangatkan" sejak akhir Desember lalu.
"Kami sudah memulai persiapan sejak 28 Desember dan itu tidak mungkin dilakukan kalau kebanyakan pemain kami bermain di Eropa. Sebuah keuntungan tersendiri banyak pemain kami berkiprah di Afrika, tapi saya juga menyesal karena bermain di kompetisi seperti Liga Champions bisa memberikan pengalaman berharga bagi para pemain saya," tukas sang pelatih.
Berkat prinsip kebersamaan yang sudah terbangun, para pemain Zambia bersedia bahu membahu seperti saat menyingkirkan Ghana di semi-final turnamen. Zambia tampil kompak dengan tidak memberikan celah sedikit pun kepada Ghana, hingga akhirnya Emmanuel Mayuka menyarangkan gol kemenangan.
Kebersamaan saja tidak cukup. Renard menyisipkan pula mantra disiplin ke dalam timnya. Clifford Mulenga merasakan ketegasan sang pelatih ketika dipulangkan dari turnamen karena melanggar jam malam pada fase penyisihan grup. Di final, seakan bahasa verbal saja tidak cukup, Renard mendorong dada Davis Nkausu yang menyebabkan penalti Drogba di babak kedua. Secara mengejutkan, Nkausu tidak membalas dan malah menepuk bahu sang pelatih seraya menganggukan kepalanya.
"Tim ini seperti keluarga. Semangat Zambia muncul dari kehadiran rekan-rekan setimnya. Negara ini dipenuhi pemain berbakat. Terkadang mereka harus ditekan karena kerap kehilangan konsentrasi, tapi ketika ditekan mereka mampu melakukan hal yang menakjubkan," jelas Renard.
Kebersamaan dan disiplin ditunjang pula dengan motivasi yang jujur. Bukan bonus uang berlimpah yang dikejar para pemain Zambia. Bukan pula kehormatan pribadi maupun gengsi negara. Tidak lain, hasrat juara mereka didorong atas dasar keinginan merebut kembali kejayaan yang pernah direnggut tragedi 1993. Keinginan untuk bangkit kembali sebagai kekuatan sepakbola Afrika. Itulah motivasi para pemain Zambia. Itulah pula kenapa kehadiran Kalusha Bwalya dalam perayaan gelar juara sangat berarti bagi Zambia.
"Kalusha salah satu pemain terbaik Zambia abad lalu. Dia pernah melatih timnas, sekarang menjadi presiden federasi. Dia selamat dari musibah itu, seharusnya dia ada di pesawat yang berangkat ke Senegal. Dia tahu betul dampak musibah itu kepada negaranya. Saya ingin mendedikasikan gelar ini kepadanya, dia memberi saya kesempatan ketika tidak ada yang mengenal saya. Dengan Le Roy dan Kalusha, saya beruntung bertemu dua orang tersebut dalam hidup saya," cetus Renard.
Terakhir, setelah segenap daya upaya yang mereka lakukan, sebuah faktor lain kian melengkapi sukses Zambia, yaitu "keberpihakan langit". Siapa yang bisa menyangka pemain setaraf Drogba mengeksekusi penalti melenceng dari sasaran?
"Kami tahu apa yang ingin kami raih malam ini. Sebuah pertanda takdir, tertulis di langit. Ada kekuatan bersama kami. Saya rasa Tuhan membantu kami dan memberi kami kekuatan," pungkas Renard.
Dengan demikian, Zambia telah pula menjadi inspirasi sepakbola dunia. (Goal)
Titik balik pertandingan muncul pada menit ke-70. Davies Nkausu menjatuhkan Gervinho di area terlarang sehingga menyebabkan hukuman penalti. Didier Drogba seharusnya mampu memanfaatkan peluang emas memenangkan pertandingan untuk Pantai Gading, tetapi tendangannya malah melambung ke atas mistar.
Sisanya, sejarah. Kepercayaan diri Zambia menebal. Setelah ditambah 30 menit perpanjangan waktu, final harus ditentukan melalui adu penalti. Drama kembali terjadi ketika dibutuhkan 18 eksekutor untuk menghasilkan pemenang. Salah satu eksekutor adalah Mweene yang dengan dingin menaklukkan Boubacar Barry pada giliran penalti kelima. Sungguh menakjubkan ketika usai eksekusi itu Barry menjabat tangan Mweene sebagai tanda sportivitas. Setelah tujuh pemain melaksanakan eksekusi dengan sempurna, Zambia mendapat angin ketika Mweene mematahkan eksekusi Kolo Toure. Cerita belum berhenti karena eksekusi Rainford Kalaba gagal. Pada giliran berikutnya, Gervinho gagal menjalankan tugas. Akhirnya kesempatan ini tidak disia-siakan Stoppila Sunzu untuk memberikan gelar juara kepada Zambia.
Gelar juara memberikan jawaban nestapa Zambia setelah tragedi 1993, tetapi tidak diraih dengan mudah. Sukses mulai dibangun ketika Renard kembali ditunjuk Bwalya, yang kini menjadi federasi sepakbola, untuk menangani Chipolopolo pada Oktober 2011. Renard bukan muka baru bagi Bwalya karena sebelumnya eks asisten Claude Le Roy di timnas Ghana itu pernah menangani Zambia pada Mei 2008. Meski sukses membawa Zambia ke perempat-final Piala Afrika 2010 untuk kali pertama dalam 14 tahun, Renard mengundurkan diri dari jabatannya.
Di tahap persiapan menuju Piala Afrika tahun ini yang digelar di Gabon dan Guinea Khatulistiwa, Renard mengaku beruntung tidak banyak pemainnya yang berkiprah di Eropa sehingga tim sudah bisa "dihangatkan" sejak akhir Desember lalu.
"Kami sudah memulai persiapan sejak 28 Desember dan itu tidak mungkin dilakukan kalau kebanyakan pemain kami bermain di Eropa. Sebuah keuntungan tersendiri banyak pemain kami berkiprah di Afrika, tapi saya juga menyesal karena bermain di kompetisi seperti Liga Champions bisa memberikan pengalaman berharga bagi para pemain saya," tukas sang pelatih.
"Tragedi 1993 menjadi pendorong motivasi Zambia"
|
Kebersamaan saja tidak cukup. Renard menyisipkan pula mantra disiplin ke dalam timnya. Clifford Mulenga merasakan ketegasan sang pelatih ketika dipulangkan dari turnamen karena melanggar jam malam pada fase penyisihan grup. Di final, seakan bahasa verbal saja tidak cukup, Renard mendorong dada Davis Nkausu yang menyebabkan penalti Drogba di babak kedua. Secara mengejutkan, Nkausu tidak membalas dan malah menepuk bahu sang pelatih seraya menganggukan kepalanya.
"Tim ini seperti keluarga. Semangat Zambia muncul dari kehadiran rekan-rekan setimnya. Negara ini dipenuhi pemain berbakat. Terkadang mereka harus ditekan karena kerap kehilangan konsentrasi, tapi ketika ditekan mereka mampu melakukan hal yang menakjubkan," jelas Renard.
Kebersamaan dan disiplin ditunjang pula dengan motivasi yang jujur. Bukan bonus uang berlimpah yang dikejar para pemain Zambia. Bukan pula kehormatan pribadi maupun gengsi negara. Tidak lain, hasrat juara mereka didorong atas dasar keinginan merebut kembali kejayaan yang pernah direnggut tragedi 1993. Keinginan untuk bangkit kembali sebagai kekuatan sepakbola Afrika. Itulah motivasi para pemain Zambia. Itulah pula kenapa kehadiran Kalusha Bwalya dalam perayaan gelar juara sangat berarti bagi Zambia.
"Kalusha salah satu pemain terbaik Zambia abad lalu. Dia pernah melatih timnas, sekarang menjadi presiden federasi. Dia selamat dari musibah itu, seharusnya dia ada di pesawat yang berangkat ke Senegal. Dia tahu betul dampak musibah itu kepada negaranya. Saya ingin mendedikasikan gelar ini kepadanya, dia memberi saya kesempatan ketika tidak ada yang mengenal saya. Dengan Le Roy dan Kalusha, saya beruntung bertemu dua orang tersebut dalam hidup saya," cetus Renard.
Terakhir, setelah segenap daya upaya yang mereka lakukan, sebuah faktor lain kian melengkapi sukses Zambia, yaitu "keberpihakan langit". Siapa yang bisa menyangka pemain setaraf Drogba mengeksekusi penalti melenceng dari sasaran?
"Kami tahu apa yang ingin kami raih malam ini. Sebuah pertanda takdir, tertulis di langit. Ada kekuatan bersama kami. Saya rasa Tuhan membantu kami dan memberi kami kekuatan," pungkas Renard.
Dengan demikian, Zambia telah pula menjadi inspirasi sepakbola dunia. (Goal)
Kalau suka, tolong klik "like/suka" di bawah ini: